PENDIDIKAN IMAN DALAM RUMAH TANGGA ADALAH TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB ORANG TUA
EKSPOSISI KITAB ULANGAN 6:4-9
6:4 Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
6:5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu.
6:6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,
6:7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau
berbaring dan apabila engkau bangun.
6:8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi
lambang di dahimu,
6:9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
● PENDIDIKAN IMAN HARUS DILAKUKAN OLEH DAN DI DALAM KELUARGA
Sebagai orang tua dalam sebuah keluarga memiliki tugas dan tanggung jawab bukan hanya menyelenggarakan pendidikan moral dan etika saja bagi setiap anggota keluarganya.
Pada umumnya orang tua menyerahkan pendidikan intelektual tetapi juga karakter kepada pihak sekolah dan menyerahkan pendidikan rohani atau iman anak-anaknya kepada pihak gereja.
Sesungguhnya pendidikan dalam segala bidang termasuk pendidikan iman, merupakan tanggung jawab keluarga dalam hal ini adalah orang tua.
Musa berkata: "Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!" (Ul 6:4).
Ayat 4 ini dan seterusnya dikenal sebagai "Shema" mengikuti kata pertama dari ayat 4 tersebut, yaitu "שְׁמַ֖ע" (šə-ma‘), yang berarti "dengarlah".
Meski kata Shema berarti "dengarlah", tetapi isi shema ini sesungguhnya adalah pengakuan iman, yaitu "Tuhan (יְהוָ֥ה, YHWH, Adonay) yang adalah Allah kita, Tuhan itu esa!"
Biasanya Shema diucapkan pertama kali oleh anak-anak Yahudi yang memasuki masa akil balik di sinagoge (rumah ibadah orang Yahudi), tetapi sebelum dan sesudahnya keluarga orang yahudi akan terus menerus mengajarkan anak-anak mereka sebagai pendidikan iman di dalam keluarga.
Di tengah-tengah keberagaman iman percaya di kalangan orang Yahudi di mana kebanyakan mengimani banyak ilah, Musa mengajarkan kepada bangsa Israel "שְׁמַ֖ע, יִשְׂרָאֵ֑ל יְהוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהוָ֥ה אֶחָֽד" (šə-ma‘, Adonay ’ĕ-lō-hê-nū, Adonay ’e-ḥāḏ).
Meski banyak ilah, bagi Musa yang harus didengar oleh orang Israel, hanya Adonay yang menjadi ilahnya orang Israel dan Adonay itu esa.
Perlu diperhatikan "šə-ma‘" (pengakuan iman) ini harus diajarkan oleh dan di dalam keluarga sehingga Musa berkata: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu" (Ul 6:7-9).
Jadi, pada hakikatnya pendidikan iman harus diajarkan oleh dan di dalam keluarga.
Keesaan Allah adalah dasar iman bagi keesaan keluarga, yaitu seluruh anggota keluarga harus bersatu mengakui TUHAN sebagai satu-satunya Allah.
Jadi sebagai orang beriman kita tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pendidikan iman bagi anggota-anggota keluarga kita kepada pihak lain, tetapi kita harus sadar dan melaksanakan pendidikan iman bagi para anggota keluarga kita sebagai tanggung jawab kita sepenuhnya!
Pertanyaannya....
Adakah pendidikan iman yang kita lakukan di dalam keluarga kita ?
Ingat, pendidikan iman adalah tugas dan panggilan orang tua bagi para anggotanya!
● PENDIDIKAN IMAN UNTUK MENGASIHI ALLAH HARUS DIAJARKAN OLEH DAN DI DALAM KELUARGA
Suatu saat Yesus dicobai dengan sebuah pertanyaan tentang hukum yang terutama. Sebagian dari jawaban atas pertanyaan tersebut, Ia menjawab: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" (Mat 22:37).
Tentunya jawaban Yesus ini mengutip Hukum Taurat karena Ia ditanya tentang hukum yang terutama.
Ia mengutip dengan sedikit memodifikasi Ulangan 6:5, yang berbunyi: "Kasihilah Tuhan , Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu."
Meski isi dari Ulangan 6:5 ini adalah perintah Musa kepada seluruh bangsa Israel untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan segenap kekuatan, tetapi ia juga memerintahkan orang tua untuk mengajarkannya kepada anak-anak mereka (Ul 6:7-9).
Kata kerja perintah "kasihilah" adalah terjemahan dari kata kerja Ibrani "אָ֣הַבְתָּ֔" (’ā-haḇ-tā) yang memiliki bentuk dasar "אָהַב" (’ā-haḇ, ’ā-heḇ).
Penggunaan kata kerja tersebut bisa menunjukkan kasih manusia terhadap sesamanya, terhadap pasangan hidupnya secara seksual, terhadap anggota keluarganya, terhadap Allah atau kasih Allah terhadap manusia.
Dari beberapa penggunaan di atas, kita dapat simpulkan penggunaan utama kata ini menunjukkan hubungan kasih yang dekat antara bapak dan anak atau sebaliknya.
Dalam konteks perintah mengasihi, Musa memerintahkan bangsa Israel sebagai anak untuk mengasihi "יְהוָ֣ה" (YHWH, Adonay) sebagai ilah atau Allah mereka sebagaimana seorang anak mengasihi bapanya.
Kasih anak kepada bapa ini harus diajarkan oleh dan di dalam keluarga berulang-ulang dan dengan berbagai cara pada setiap kesempatan dan tugas kita sebagai orang tua adalah menanamkan pada anak-anak kita sampai mereka bertumbuh hingga mereka mengasihi Tuhan sebagai Bapa mereka.
Pengajaran yang paling efektif dlm membina anak adalah melalui keteladanan orang tua mengasihi TUHAN yang diperagakan dengan kesungguhan dan ketulusan hati dimana saja kita berada, termasuk dihadapan anak-anak.
Pertanyaannya...
Apakah kita sebagai orangtua benar-benar mengasihi TUHAN dengan kesungguhan dan ketulusan hati ?
Apakah kasih kita sebagai orang tua kepada Allah, kita terus berusaha peragakan bukan hanya di depan anak-anak tetapi juga kepada mereka?
Sesungguhnya peragaan kasih kita kepada TUHAN sangat memengaruhi kasih anak kita kepada TUHAN dan juga kepada kita sebagai orangtua?
Jika anak kita mengasihi TUHAN, ia bukan hanya mengasihi kita saja, tetapi ia juga akan mengasihi anggota keluarganya yang lain bahkan sesamanya?
Kita bisa membayangkan keluarga yang bagaimana yang akan kita miliki jika setiap anggota keluarga mengasihi TUHAN?
● KASIH ITU PERAGAAN KEHENDAK DAN EMOSI YANG POSITIF
Musa berkata kepada Israel: "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu ..." (Ul 6:5).
Kata "hati" memunyai pengertian harfiah dan kiasan. Secara harfiah, hati adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menyaring racun yang ada di dalam diri manusia. Pengertian harfiah lainnya, di dalam Bahasa Inggris, "heart" (jantung) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk memompa darah supaya darah tersebut bisa berputar ke seluruh tubuh manusia. Tentunya, yang dimaksud hati oleh Musa bukan dalam pengertian harfiah seperti di atas.
Kata Hati pada ayat tersebut memunyai pengertian kiasan.
Musa menggunakan kata Hati dalam bahasa Ibrani "לֵבָב" (lebab).
Di dalam kosa kata Ibrani, pengertian kiasan hati adalah manusia batiah yang berkehendak dan penuh emosi.
Sebagai ilustrasi, dalam pertandingan bulutangkis, pelatih menasihati pemainnya dengan berkata: "jangan main bulutangkis tanpa hati!" Apakah itu berarti pelatih mengawatirkan pemainnya bisa bermain bulutangkis tanpa hati (liver, penyaringbracu dalam tubuh manusia) atau jantung (organ tubuh yang memompa darah). Mustahil. Tanpa hati atau jantung, pemain itu tidak bisa bermain karena ia hanyalah mayat. Nasihat "jangan main bulutangkis tanpa hati" berarti jangan bermain bulutangkis tanpa kehendak (kemauan) dan emosi (greget).
Nah, perintah dan sekaligus nasihat Musa kepada bangsa Israel untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati berarti bangsa Israel harus mengasihi Tuhan Allah mereka dengan segenap kehendak dan emosi mereka. Kehendak dan emosi itu harus diperagakan, karena kasih itu bukan sekedar perasaan, tetapi tindakan yang dipilih untuk dilakukan. Meski kasih itu melibatkan emosi, tetapi emosi tidak boleh memimpin kasih karena emosi itu bisa sirna.
Hati yang menyatakan kehendak harus lebih dominan dari pada emosi untuk bertindak mengasihi Tuhan Allah.
Kasih yang merupakan perasaan kehendak dan penuh emosi yang positif kepada Tuhan Allah seperti di atas harus diajarkan oleh dan di dalam keluarga Kristen. Peragaan kasih kepada Tuhan itu dinyatakan pada kasih kita kepada sesama (entah sesama angota keluarga maupun sesama manusia lainnya).
Yohanes berkata: "Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.
Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya" (1 Yoh 4:20-21).
● MENYIMPAN PERINTAH DI DALAM PIKIRAN
Makna kata Hati (Ibr) "לֵבָב" lebab, bukan hanya berarti "manusia batiniah yang berkehendak", tetapi juga berarti "manusia batiniah yang berpikr" atau "pikiran" itu sendiri.
Musa berkata kepada bangsa Israel: "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan" (Ul 6:6).
Musa memerintahkan umat Israel agar mereka mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan (Ul 6:4-5).
Jadi Musa memerintahkan umat Israel agar mereka mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan harus selalu ada di dalam pikiran bangsa tersebut khususnya para orangtua.
Mengapa demikian?
Karena perintah itu harus diajarkan berulang-ulang oleh orang tua kepada anak-anak mereka (Ul 6:7).
Oleh karena itu, mari kita merefleksikan renungan ini dalam kehidupan keluarga kita masing-masing!
● RUMAH ADALAH SEKOLAH IMAN
Musa berkata kepada orang tua yang hidup di tengah-tengah bangsa Israel: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun" (Ul 6:7).
Semua orang tua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi sukses.
Untuk meraih kesuksesan tersebut, umumnya orang tua bukan hanya menyekolahkan mereka di sekolah "favorit" yang mahal saja, bahkan orang tua juga mendatangkan guru-guru les privat untuk mengajar mereka di rumah.
Tak ada salahnya mendatangkan guru-guru les privat ke rumah, selagi mampu dan mau.
Tetapi kita harus memperhatikan baik-baik bahwa pendidikan anak tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada orang lain, khususnya pendidikan iman.
Banyak guru les privat yang mengajar matematika, fisika, kimia atau mata pelajaran yang lain, tetapi sangat jarang bahkan tidak ada orang tua yang mendatangkan guru les privat mata pelajaran agama Kristen ke rumah.
Mata pelajaran agama hanya didapat anak-anak di sekolah dan tambahannya diserahkan kepada pihak gereja, hal tersebut bagus tetapi masih kurang.
Musa memerintahkan agar orang tua mengajarkan iman untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan (Ul 6:5-6) di rumah. Pendidikan iman anak bukan tanggung jawab sekolah atau pun gereja saja, terlebih dari kedua institusi itu, rumah harus menjadi sekolah iman bagi anak-anaknya.
Perkataan Musa disini sangat jelas: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau ... di rumahmu, ...".
Mengajarkan iman untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan harus dilakukan orang tua kepada anak-anak mereka "mengajar berulang-ulang".
Garis bawahi kata "mengajar berulang-ulang".
Kata ini adalah terjemahan dari kata Ibrani "שָׁנַן" (shanan), yang secara harfiah berarti "sharp" (tajam), akan tetapi kata ini juga bisa berarti "menusuk" atau "menembus".
Jadi, "mengajar berulang-ulang" maksudnya seperti belati yang tajam yang menghujam bahkan sampai jantung atau hati anak-anak kita.
Belati tersebut bukan terbuat dari besi yang dipertajam, melainkan perintah untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan.
Jadi orang tua harus "menghujamkan belati" ke jantung atau hati anak-anak mereka setiap hari di rumah.
Rumah harus menjadi sekolah iman, dan orang tua adalah para pengajarnya, anak-anak adalah para muridnya, dan perintah untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan adalah mata pelajaran inti dan bersifat wajib, dan rumah kita harus kita rancang sebagai sekolah iman.
● TANDA DI TANGAN DAN DI DAHI
Inilah yang dikatakan Musa kepada bangsa Israel, katanya: "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu" (Ul 6:8).
Pertanyaannya... apa yang diikat di tangan dan di dahi oleh orang tua Israel?
Kata ganti "nya" dalam kata "mengikatkannya" menunjuk kepada perintah untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap kekuatan (Ul 6:4-5).
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana bisa mengikat perintah-perintah itu?
Dalam tradisi Yahudi, ada kotak kulit kecil yang diikatkan pada lengan atau di dahi seseorang. Nah, kotak kulit itu disebut "teffilin" dalam istilah Ibrani atau "phylacteries" dalam istilah Yunani.
Teffilin ini berisi tulisan kecil yang salah satunya, Ulangan 6:5-9, yaitu perintah untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap kekuatan dan mengajarkannya. Ketika diikat pada lengan atau dahi, teffilin menandakan bahwa orang yang mengenakannya memiliki hubungan "perjanjian" dan memiliki ketaatan dengan Allah. Mengenakan teffilin atau phylacteries tanpa ketaatan akan mendatangkan kecaman dari Tuhan Allah karena hanya sebagai pencitraan.
Yesus berkata: "Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang;.." (Mat 23:5).
Ini salah satu contoh sebuah pencitraan, yaitu mengenakan "phylacteries" supaya dilihat orang.
Jadi orang tua harus mengenakan teffilin, entah di lengan atau di dahi, sebagai tanda bahwa ia memiliki hubungan perjanjian dan memiliki ketaatan kepada Allah, tetapi pada saat yang sama untuk mengajar anak-anak bahwa mereka harus mengasihi TUHAN Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan dan mengajar itu bukan hanya dengan kata-kata melainkan juga dengan keteladanan hidup.
● RUMAH TANGGAMU MILIK TUHAN
Musa berkata: "dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu" (Ul 6:9).
Apa yang harus dituliskan pada tingan pintu dan pintu gerbang rumah orang Israel?
Salah satunya adalah perintah untuk mengasihi Tuhan, Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan.
Penulisan itu bukan saja mengingatkan bahwa seluruh penghuni rumah tersebut harus mengingat bahwa mereka harus mengasihi TUHAN, tetapi harus mengajar mereka bahwa rumah tangga mereka adalah milik Tuhan.
Dalam rumah tangga Kristen pun harus ada tanda-tanda kepemilikan Tuhan atas rumah tangga tersebut. Tanda-tanda itu bisa berupa salib, gambar Yesus atau yang lainnya, karena dengan tanda-tanda, orang akan mengetahui bahwa rumah tangga kita adalah rumah tangga Kristen, juga mengingatkan setiap anggota keluarga tentang kepemilikan Kristus atas rumah tangga kita.
Tanpa mengenyampingkan arti tanda salib dan gambar Yesus, tanda-tanda yang jelas tak terbantahkan yang mengatakan bahwa rumah tangga kita adalah rumah tangga yang dimiliki Tuhan adalah praktik hidup yang mencerminkan nilai-nilai rohani Kristiani.
Tanda-tanda itu seperti kehidupan doa yang benar, pembacaan Kitab Suci yang khusuk, dan praktik kasih kepada sesama sebagai cerminan kasih kita kepada TUHAN dan mungkin masih ada hal lainnya.
Jadi, tandailah rumah tangga kita dengan praktik-praktik hidup yang menjalankan nilai-nilai Kristiani/kebenaran, maka kita sedang mengajarkan kepada anggota keluarga kita bahwa rumah tangga kita dimiliki oleh Tuhan dan orang lain dapat menyaksikan kepemilikan Tuhan Allah atas rumah tangga kita.
● FIRMAN BUKAN HANYA DIAJARKAN TETAPI DITERAPKAN
Pendidikan bukan hanya hanya pengajaran, proses belajar dan mengajar, melainkan juga melibatkan proses pelaksanaan materi ajar. Pendidikan meliputi pengetahuan yang diajarkan secara intensif dan juga keterampilan yang dilatih terus menerus. Demikian pula pendidikan iman untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan.
Musa memerintahkan orang tua yang berada di tengah-tengah bangsa Israel, katanya: "haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun" (Ul 6:7).
Mengajar dan membicarakan adalah dua kata yang sinonim, namun Musa menggunakan kedua kata tersebut hendak menekankan juga tentang pelaksanaan praktis perintah untuk mengasihi Tuhan Allah yang esa dengan segenap hati dan dengan segenap kekuatan.
Penerapan pendidikan iman bisa di rumah atau di luar rumah. Kata-kata seperti "apabila engkau duduk" dan "apabila engkau berbaring" hendak menekankan penerapan pendidikan iman di rumah. Sedangkan kata-kata "apabila engkau sedang dalam perjalanan" dan "apabila engkau bangun" menekankan penerapan pendidikan iman di luar rumah.
Jadi, pendidikan iman itu harus dilakukan, lewat pengajaran dan penerapan, kapan saja dan di mana saja dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada hari tanpa pendidikan iman. Tidak ada bidang kehidupan terlepas dari penerapan pendidikan iman. Jadi, apa pun yang dilakukan oleh anak-anak orang percaya harus mencerminkan kasih mereka kepada Tuhan Allah yang esa.
● KESIMPULAN
Mari kita menaruh perhatian dalam pendidikan Iman bagi generasi kita untuk masa depan mereka, sehingga generasi kita merupakan generasi yang hidup dalam kehendsk Tuhan dan ysng berkenan kepada Tuhan.